Shared ramblings/ findings

Monday, August 23, 2010

SEDIAKAN PAYUNG SEBELUM HUJAN --A Papuan’s view of Indonesia

Bangsa Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan heterogen dalam berbagai sendi dan aspek kehidupan telah secara sadar meletakkan fondasi awal yang mantap, melekat erat dan bertekat membangun bangsa ini dalam kebhinekaan secara damai dan bertanggungjawab dan terus memelihara kebhinekaan itu sebagai suatu kekuatan nasional.

Biarkanlah Bunga-Bunga Itu Bermekaran Bersama Sama karena; jika sekuntum bunga yang mekar hanya dalam satu warna, dia akan merana kemudian layu dan sirnah ditelan sang waktu, tidak ada kesan istimewa yang menjadi buah bibir khalayak dan pergi tanpa kesan mendalam.

Apa sih istimewanya sekuntum bunga, yang tumbuh dan mekar di tengah kebhinekaan heterogenitas dan apa pula kekuatan perekat jika kian hari anak bangsa ini cenderung mengabaikan kekayaan kebhinekaan ini semata-mata dan sekedar untuk konsumsi politik yang kian usang dewasa ini.

Taman Bunga mengeluarkan aroma wawangian dari sumber berbeda namun menyatu dirayut dalam simphoni yang indah sebagai maha karya agung alam beraroma semerbak mewangi.

Cerita mengenai keindahan Bunga menjadi cerita klasik nan abadi, manakala divisualisasi dalam legenda Kisah Cinta yang semerbak mewangi, kemudian layu dan gugur pada siang harinya, dia mekar tanpa diminta, memberi kenikmatan secara suka rela, kemudian gugur dan pergi begitu saja tanpa pamit, dia datang dan pergi dibawah kuasa dan kehendak alam.

Kehidupan insan manusia tidak indentik dengan mekar, layu, dan gugurnya sekuntum bunga.

Keberadaan dan kehidupan manusia berkarya dalam kontrol manusia lain baik sebagai Pribadi juga sebagai anggota masyarakat. Perjalanan hidup manusia tidak melulu ditentukan oleh diri sendiri akan tetapi juga oleh model kehidupan lain di luar dirinya sehingga manusia diharapkan selalu solider terhadap sesama dan lingkungan dimana manusia berinteraksi sebagai mahkluk sosial .

Manusia dapat merajai kehidupan dunia ini, hanya karena adanya relasi hidup seimbang dengan manusia lain di sekitarnya. Jika tidak ada manusia lain disekitar dirinya, makluk apakah kita ini. Pengakuan dari manusia lain terhadap mahkluk diri kita menjadi issu sentral kemaanusiaan itu sendiri.

Dalam Budaya Tradisional suku Danni menyebut perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain diluar sukunya diterjemahkan dalam pernyataan tersebut dibawah ini;

“ Apuni Hagatarekhak Hagate “, yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia secara bebas; ……. “ Dia melakukan sesuatu, sama seperti Manusia”, pernyataan seperti tersebut mengandung legitimasi bahwa “ hanya manusialah yang dapat berbuat baik atas manusia yang lain, akan tetapi jika manusia melakukan suatu perbuatan, tidak seperti layaknya dilakukan manusia, maka status “kemanusiaannya diragukan” bahkan dikucilkan dalam kelompok sosial hidup masyarakat.

Bagaimanakah nuansa kemanusiaan kita berbicara dalam diri kita sendiri, setelah menyaksikan kehidupan manusia lain dalam kungkungan keterbatasan dan kemiskinan absolut dalam relasi sosial dan bagaimanakah kita mamandang manusia lain dalam kacamata heterogenitas di era pembangunan nasional dewasa ini.

Dunia yang dulunya berpatok pada sekat otoritas kekuasaan absolut kini tidak bisa dipertahankan lagi seturut dan semakin gencarnya perkembangan ilmu dan teknologi yang secara langsung ataupun tidak langsung membuka semua ruang dan dinding otoritas wilayah kekuasaan negara tertentu. Tadinya kita dapat membela diri dengan alasan klasik otoritas dan harga diri bangsa, namun kini kita dipermalukan dunia yang semakin sempit karena perkembangan teknologi yang memiliki sifat transparans.

Bangsa Indonesia perlu instrospeksi dalam mensikapi dinamika dan perkembangan dunia sembari secara jujur dan objektif mengakui kelemahan dan kegagalan dalam mempertahankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kian rapuh dan digerogoti nasionalisme sempit, mengabaikan ke Bhinekaan sebagai konsensus nasional.

Filosofi kebhinekaan seolah menjadi semboyan tidak berpangkal dan bermakna, manakala mayoritas masyarakatnya masih mengangis rezeki, bekerja serabutan membanting tulang untuk sesuap nasi, sementara sekelompok kecil elit kekuasaan berfoya foya memamerkan keakuannya dan kesombongan menikmati fasilitas serba mewah.

Bukankah Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17-8-1945 juga diproklamirkan bertolak dari rasa terhina yang terus-menerus diperbudak dalam segala sendi kehidupan sebagai suatu bangsa, kemudian bangkit dari kehinaan melawan si-jahat kolonial dengan semangat kebangsaan membara, secara suka-rela dan gotong-royong tanpa memandang status sosial, asal usul, bangsawan atau proletar, mengambil peran semampu yang dapat dipersembahkan demi suatu cita-cita.

Namun apa yang terjadi dan kita praktekkan diatas jutaan mata masyarakat kita dewasa ini perlu kita instrospeksi. Tujuan mendirikan bangsa yang besar Republik Indonesia, terus kita nodai. Tujuan Kemerdekaan Bangsa Indonesia untuk menuju masyarakat adil-makmur hanya menjadi pepesan kosong yang sulit digapai. Para pejabat yang sesungguhnya diangkat sebagai representasi masyarakat, sibuk mengurus diri dan kroninya saja, masyarakat negeri ini hanya bisa menonton dan menyaksikan drama klasik dibalik kaca tembus pandang yang kita tampilkan per-lima tahunan dengan janji-janji surga.

Masyarakat menyaksikan secara transparan, namun tidak kuasa melakukan protes. Jika terus menerus hidup dan menampilkan ketidak adilan, maka sesuatu yang jelek itu akan menjadi kebiasaan umum yang dipermaklumkan, sehingga tampilan yang tadinya senorok dan di maki khalayak, kini menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja, atau bahkan menjadi mode primadona, karena takut dibilang ketinggalan jaman.

Peran yang kita mainkan dan tampilkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga hari ini, tidak lebih baik dari peran rezim kolonial masa lalu, bedanya hanya pada rambut dan warna kulit yang dapat dilihat secara kaset mata, sedangkan hati dan mentalitasnya lebih bobrok bagai seekor harimau lapar yang siap menelan siapa saja yang lengah.

Rasa keadilan dan kemanusiaan bermain diatas kekuasaan semu, yang kita sembah dan tampilkan sehingga kenyataannya kekuasaan semu itu menjadi remuk redam dimata hati masyarakat pribumi yang nota bene adalah pemilik dan ahli waris negeri ini.

Jika mata hati kita tertutup oleh keangkuhan, terus menerus menumbuh kembangkan cinta diri, maka kepekaan sosial hanya menjadi ironi dan tenggelam dalam keakuan yang egosentris, semua simbol-simbol sosial terbang jauh ke atas langit yang kian rapuh dan tenggelan dalam kesendirian dalam kebisuan sebagai mahkluk yang dihempaskan melayang jauh diujung langit, maka bangsa ini perlu mengaku dosa lakukan introspeksi jika ingin republik ini kokoh berdiri tegak dalam kebhinekaan.

Kita tidak bisa lagi menggunakan kekuatan fisik untuk melumpuhkan musuh. Senjata dan amunisi tidak lagi menjadi senjata pamungkas. Senjata yang paling ampuh saat ini adalah jalur diplomasi, menggunakan otak untuk mengalahkan musuh, bukan lagi otot yang ditampilkan dalam negosiasi politik skala internasional di zaman ini.

Kita perlu belajar banyak, tentang runtuhnya negara-negara adikuasa dengan simbol-simbol negara yang tadinya disegani dunia. Jatuhnya Unisoviet adalah menjadi kisah nyata dan pengalaman pahit yang tidak pernah terlupakan masyarakat dunia. Setiap negara bagian menyatakan lepas dan memerdekaan dirinya dan akhirnya Negara adikuasa itu jatuh terkulai.

Pengalaman runtuhnya negara seperti unisoviet. Kita sebagai bangsa Indonesiapun pernah mengalaminya. Lepasnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi adalah sebuah pengalaman pahit, lepasnya Timor-Timur dari Ibu Pertiwi membukakan peluang, bagi daerah-daerah lain di wilayah Republik ini bahwa sejarah pahit itu dapat terulang kembali, jika kita sibuk urus diri pribadi tanpa memperhatian dan ikut memberi kontribusi maksimal tetap tegaknya negara kesatuan ini sebagai suatu kekuatan nasional kita. Jangan heran ketika kejadian yang sama bisa saja terulang kembali jika kita tidak perbaiki kebobrokan mentalitas.

Judul penulisan artikel ini adalah “ sediakan payung sebelum hujan “ kita terlalu sibuk mengurusi sesuatu hal yang hanya bersifat urusan rumah tangga dan bersifat perorangan. Kita terus-menerus membuka aib kita kepada dunia dan mempertontonkan itu semua sebagai keberhasilan, sampai-sampai orang nomor satu di Republik inipun kita permalukan dimata dunia, kita tidak pernah mau membukaan pintu maaf bahkan terkesan arogan menelanjangi diri mereka dimata dunia. Kadang kita lupa, bahwa seseorang yang kita perlakukan secara arogan itu adalah simbol negara. Dilain pihak kita selalu mendengung-dengungkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf hanya isapan jempol bekala.

Kita berfokus hanya pada penegakkan aspek hukum dan kriminal, tapi lupa pertimbangkan aspek sosial yang lebih menyentuh penyelesaian akar masalah. Kita juga lupa kedudukan presiden dan pembantu dibawahnya adalah simbol negara atas rekomendasi kolektif masyarakat sebagai pemegang Legitimasi tertinggi negara. Dalam kapasitas dan kapabilitas Presiden sebagai kepala Negara berhak memutuskan segala sesuatu demi kepentingan dan masa depan bangsa dan negara itupun kita permasalahkan. Apakah kita yakin, bahwa pemimpin negara periode berikutnya akan memenuhi semua mimpi dan harapan bangsa yang besar ini, perlu kita evluasi secara empiris.

By H.Lokobal

No comments: